Allah SWT berfirman, "Sebenarnya (malaikat - malaikat itu) adalah hamba - hamba yang dimuliakan, mereka tidak mendahului-Nya dengan perkataan dan mereka mengerjakan perintah - perintah-Nya. Allah mengetahui segala sesuatu yang dihadapan mereka dan yang dibelakang mereka, dan mereka tidak memberikan syafa'at melainkan kepada orang - orang yang diridhai Allah, dan mereka selalu berhati - hati karena takut kepada-Nya" (QS Al Anbiyaa' 26-28) Inilah orang - orang yang didoakan oleh para malaikat :
|
Minggu, 10 Mei 2009
Orang - orang yang Didoakan oleh Malaikat
Tujuh Pintu (masuk) Neraka
"Neraka mempunyai tujuh pintu, untuk masing-masing pintu di huni (sekelompok pendosa yang ditentukan)" (Qs al Hijr :44) Diriwayatkan bahwa ketika Jibril turun membawa ayat di atas tadi, Nabi saw memintanya untuk menjelaskan kondisi neraka. Jibril menjawab: "Wahai Nabi Allah, sesungguhnya di dalam neraka ada tujuh pintu, jarak antara masing-masing pintu sejauh tujuh puluh tahun, dan setiap pintu lebih panas dari pintu yang lain, nama-nama pintu tersebut adalah: Ketika Sayyidah Fathimah as sampai di hadapan sang ayah, Ia melihat keadaannya yang menyedihkan dan juga keadaan para sahabatnya, kemudian ia berkata: "Wahai Ayahanda, Salman terkejut setelah melihat jubahku yang sudah penuh dengan robekan, aku bersumpah, demi tuhan yang telah memilihmu menjadi Nabi, sejak lima tahun lalu kami hanya memiliki satu helai pakaian di rumah kami, pada waktu siang kami memberi makan unta-unta dan pada waktu malam kami beristirahat, anak-anak kami tidur beralaskan kulit dengan daun-daun kering pohon kurma. Nabi berpaling ke arah Salman dan berkata "Apakah engkau memperhatikan dan mengambil pelajaran?" Maha adil Allah, begitu demokratisnya memberikan kebebasan pada manusia untuk memilih.. antara iman & kufur, dengan tanpa ada paksaan " laa ikrooha fiddin..". Akhirnya pilihan yang kita ambil, mendapatkan konsekuensi adil dari dzat yang maha adil. Jalan menuju sorga berliku nan mendaki tapi saat sampai tujuan, maka akan mendapatkan keindahan yang "tidak pernah dilihat oleh mata, tidak pernah didengar oleh telinga, tidak dapat dibayangkan oleh hati. Sedangkan jalan menuju neraka, indah mempesona..akhirnya sampai pada kondisi yang mengerikan.. |
Senin, 23 Februari 2009
Shalat Jama dan Qasar
Islam adalah agama Allah swt yang banyak memberikan kemudahan kepada para pemeluknya didalam melakukan berbagai ibadah dan amal sholehnya, sebagaimana firman Allah swt :
يُرِيدُ اللّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
Artinya : “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (QS. Al Baqoroh : 185)
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
Artinya : “Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” (QS. Al Hajj : 78)
Seperti halnya seorang yang tidak memiliki air untuk berwudhu maka ia diperbolehkan bertayammum, begitupula dengan sholat yang dapat dilakukan dengan cara dijama’ (dirangkap) maupun diqoshor (dipotong).
Adapun jawaban dari beberapa pertanyaan yang anda ajukan adalah sebagai berikut :
1. Mengerjakan sholat dengan cara dijama’ atau diqoshor ini didapat dari Rasulullah saw, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Malik dari Muadz bahwasanya pada suatu hari Nabi saw pernah mengakhirkan sholat di waktu peperangan Tabuk kemudian berliau saw pergi keluar dan mengerjakan sholat zhuhur dan ashar secara jama’. Setelah itu beliau saw masuk kemudian keluar dan mengerjakan sholat maghrib dan isya secara jama’.” Sedangkan dalil untuk sholat dengan cara diqoshor adalah apa yang diriwayatkan oleh Ahmad, Muslim, Abu Daud dan baihqi dari Yahya bin Yazid, ia berkata,”Aku bertanya kepada Anas bin Malik mengenai mengqoshor sholat. Ia menjawab, Rasulullah saw mengerjakan sholat dua rakaat jika sudah berjalan sejauh tiga mil atau satu farsakh.”
2. Jama’ (merangkap) dua sholat baik antara zhuhur dengan ashar maupun maghrib dengan isya bukanlah suatu kewajiban akan tetapi disunnahkan manakala ada salah satu dari beberapa persyaratannya.
3. Sebagaimana poin no 2 bahwa, seseorang diperbolehkan merangkap (menjama’) shalat zhuhur dengan ashar baik dengan cara taqdim (dikerjakan di waktu zhuhur) maupun dengan cara ta’khir (dikerjakan diwaktu ashar) atau menjama’ antara sholat maghrib dengan isya baik dengan cara taqdim maupun ta’khir apabila ada salah satu sebab diantara perkara berikut ini :
a. Menjama’ di Arafah dan Muzdalifah; para ulama sependapat bahwa sunnah menjama’ sholat zhuhur dan ashar dengan cara jama’ taqdim pada waktu zhuhur di Arafah, begitu juga antara sholat maghrib dan isya dengan cara ta’khir di waktu isya di Muzdalifah, sebagaimana yang pernah dilakukan Rasulullah saw.
b. Menjama’ didalam bepergian; menjama’ dua sholat ketika bepergian pada satu waktu dari kedua sholat itu, menurut sebagian besar ulama, adalah diperbolehkan tanpa ada perbedaan apakah dilakukan pada saat berhenti ataukah dalam perjalanan.
c. Menjama’ diwaktu hujan; Imam Bukhori meriwayatkan bahwa “Nabi saw pernah menjama’ antara sholat maghrib dan isya pada suatu malam yang diguyur hujan lebat.” Keringanan ini hanya khusus bagi orang yang mengerjakan sholat berjama’ah di masjid yang datang dari tempat yang jauh, hingga dengan adanya hujan dan sebagainya, hal itu menjadi penghalang dalam perjalanan. Adapun bagi orang yang rumahnya berdekatan dengan masjid atau orang yang mengerjakan sholat jama’ah di rumah, atau ia dapat pergi ke masjid dengan melindungi tubuh, ia tidak boleh menjama’.
d. Menjama’disebabkan sakit atau uzur; sebagaimana dikatakan oleh Imam Ahmad, Qodhi Husein, al Khottobi, Mutawalli dari golongan Syafi’i dikarenakan kesukaran di waktu sakit lebih besar daripada kesukaran di waktu hujan.
e. Menjama’ disebabkan adanya keperluan; Imam Nawawi mengatakan bahwa beberapa Imam membolehkan jama’ kepada orang yang tidak musafir apabila ia ada suatu kepentingan dengan syarat hal itu tidak dijadikannya kebiasaan. Ini juga pendapat Ibnu Sirin dan Asuhab dari golongan Maliki. Menurut al Khottobi bahwa ini juga pendapat dari Qoffal dan asy Syasyil Kabir dari golongan Syafi’i juga dari Ishaq Marwazi dan dari jama’ah ahli hadits.
4. Menjama’ bukanlah suatu kewajiban namun ia hanyalah keringanan yang disunnahkan bagi mereka yang memenuhi persyaratan untuk melakukannya. Dengan demikian apabila seseorang tidak mengambil keringanan ini atau menjama’ antara dua sholat baik dengan cara taqdim atau ta’khir maka hal itu dipebolehkan dan tidak ada dosa baginya.
5. Adapun sholat qoshor atau dengan memotong jumlah raka’at, sholat zhuhur, ashar dan isya menjadi dua rakaat sedangkan sholat maghrib tetap dilakukan dengan tiga rakaat. Anda dapat melakukan sholat dengan cara qoshor baik antara zhuhur dengan ashar atau antara maghrib dengan isya ketika anda melakukan suatu perjalanan yang mencapai jarak tempuh 16 farsakh (81 km) sebagaimana pendapat para ulama madzhab Maliki, Syafi’i dan Hambali. Anda pun diperbolehkan memilih antara mengerjakan sholat dengan cara qoshor atau jama’ ketika anda berada didalam suatu perjalanan yang mencapai jarak tersebut.
6. Didalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Umar bin Khottob bahasanya Rasulullah saw bersabda,”Sesungguhnya perbuatan itu tergantung dari niat dan bagi sertiap orang hanyalah apa yang ia niatkan.” (Muttafaq ‘Alaih). Jadi diterima tidaknya suatu amal seseorang termasuk sholat yang dilakukan baik dengan cara dijama’ atau diqoshor tergantung dari niatnya yang ada didalam hatinya. Niat ini tidak diharuskan dengan kata-kata yang diucapkan dengan lisan atau pun perkataan jiwa akan tetapi ia adalah kebangkitan (keinginan) hati terhadap suatu amal tertentu. Jadi apabila anda hendak melakukan sholat jama’ atau qoshor maka niatnya cukup dengan adanya keinginan didalam untuk melakukan perbuatan tersebut dengan hanya mengharap ridho Allah swt.
(sumber : I. Fiqhus Sunnah, II. Buhuts wa Fatawa Islamiyah, III. Minhajul Muslim)
Wallahu A’lam
Obat Peredam Amarah
DAlam riwayat Abu Hurairah dikatakan Orang yang kuat tidaklah yang kuat dalam bergulat, namun mereka yang bisa mengendalikan dirinya ketika marah (H.R. Malik).
Cara-cara meredam atau mengendalikan kemarahan:
1. Membaca Ta'awwudz. Rasulullah bersabda Ada kalimat kalau diucapkan niscaya akan hilang kemarahan seseorang, yaitu A'uudzu billah mina-syaithaani-r-rajiim Aku berlindung kepada Allah dari godaan syaitan yang terkutuk (H.R. Bukhari Muslim).
2. Berwudlu. Rasulullah bersabda Kemarahan itu itu dari syetan, sedangkan syetan tercipta dari api, api hanya bisa padam dengan air, maka kalau kalian marah berwudlulah (H.R. Abud Dawud).
3. Duduk. Dalam sebuah hadist dikatakanKalau kalian marah maka duduklah, kalau tidak hilang juga maka bertiduranlah (H.R. Abu Dawud).
4. Diam. Dalam sebuah hadist dikatakan Ajarilah (orang lain), mudahkanlah, jangan mempersulit masalah, kalau kalian marah maka diamlah (H.R. Ahmad).
5. Bersujud, artinya shalat sunnah mininal dua rakaat. Dalam sebuahhadist dikatakan Ketahuilah, sesungguhnya marah itu bara api dalam hati manusia. Tidaklah engkau melihat merahnya kedua matanya dan tegangnya urat darah di lehernya? Maka barangsiapa yang mendapatkan hal itu, maka hendaklah ia menempelkan pipinya dengan tanah (sujud). (H.R. Tirmidzi)
Di mana Sunahnya memakai jam tangan?
Kami melihat sebagian orang memakai jam tangan di tangan kanan, dan mereka berkata bahwa yang demikian itu sunnah, apa dalilnya?
Jawaban:
Kami berpegang teguh dalam masalah ini dengan kaidah umum yang terdapat dalam hadits Aisyah di dalam Ash Shahih, ia berkata:
Rasulullah menyukai menggunakan (mendahulukan) kanan dalam segala sesuatu, yaitu ketika bersisir, bersuci, dan dalam setiap urusan.
Dan kami tambahkan dalam hal ini, hadits lain yang diriwayatkan dalam Ash Shahih, bahwa beliau bersabda:
Sesungguhnya Yahudi tidak mencelup (menyemir) rambut-rambut mereka, karena itu berbedalah dengan mereka, dengan cara menyemir rambut kalian.
Juga hadits-hadits yang lain yang di dalamnya terdapat perintah untuk berbeda dengan musyrikin.
Maka dari hadits-hadits tersebut dapat kami simpulkan bahwa disunnahkan bagi seorang muslim untuk bersemangat dalam membedakan diri dengan orang-orang kafir.
Dan sepatutnyalah untuk kita ingat bahwa membedakan diri dari orang kafir, mengandung arti bahwa kita dilarang mengikuti adat kebiasaan mereka. Maka tidak boleh bagi seorang muslim untuk menyerupai orang kafir, dan sudah selayaknya bagi kita wntuk selalu tampil beda dengan orang-orang kafir.
Di antara adat kebiasaan orang kafir adalah memakai jam tangan di tangan kiri, padahal kita mendapatkan pintu yang teramat luas di dalam syariat untuk menyelisihi adat ini. Walhasil mengenakan jam tangan di tangan kanan merupakan pelaksanaan kaidah umum, yaitu (mendahulukan) yang kanan, dan juga kaidah umum yang lain yaitu membedakan diri dengan orang-orang kafir.
Diambil dari Fatwa-Fatwa Syaikh Nashiruddin Al-Albany, Penerbit: Media Hidayah
Shalat istikharah dalam Menentukan Pilihan
pilihan yang berlandaskan pengetahuan dan pemikiran yang kukuh serta sangat bersungguh-sungguh untuk beristikharah kepada Allah, sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah kepada kita. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Jabir ra, ia menuturkan: Rasulullah mengajarkan kepada kami istikharah dalam segala perkara sebagaimana beliau mengajarkan surat al-Qur-an:
إِذَا هَمَّ أَحَدُكُمْ بِالْأَمْرِ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ مِنْ غَيْرِ الْفَرِيضَةِ ثُمَّ لِيَقُلْ اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْتَخِيرُكَ بِعِلْمِكَ وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ وَأَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ الْعَظِيمِ فَإِنَّكَ تَقْدِرُ وَلَا أَقْدِرُ وَتَعْلَمُ وَلَا أَعْلَمُ وَأَنْتَ عَلَّامُ الْغُيُوبِ اللَّهُمَّ إِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الْأَمْرَ خَيْرٌ لِي فِي دِينِي وَمَعِيشَتِي وَعَاقِبَةِ أَمْرِي أَوْ قَالَ فِي عَاجِلِ أَمْرِي وَآجِلِهِ فَيَسِّرْهُ لِي ثُمَّ بَارِكْ لِي فِيهِ وَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الْأَمْرَ شَرٌّ لِي فِي دِينِي وَمَعِيشَتِي وَعَاقِبَةِ أَمْرِي أَوْ قَالَ فِي عَاجِلِ أَمْرِي وَآجِلِهِ فَاصْرِفْهُ عَنِّي وَاصْرِفْنِي عَنْهُ وَاقْدُرْ لِي الْخَيْرَ حَيْثُ كَانَ ثُمَّ أَرْضِنِي بِهِ قَالَ وَيُسَمِّي حَاجَتَهُ
Di sini ada beberapa perkara penting yang wajib kita perhatikan:
- Istikharah dilakukan setelah menunaikan shalat dua rakaat selain shalat shalat fardhu (Tahiyyatul Masjid, atau setelah shalat sunnah lainnya).
- Do'a istikharah dilakukan setelah shalat, bukan di dalam shalat.
- Boleh mengulang-ulang istikharah, karena ini adalah do'a, dan mengulang-ulang do'a adalah dianjurkan.
- Sebagian orang menyangka bahwa setelah melakukan shalat Istikharah, seseorang akan melihat sesuatu dalam mimpinya. Hal ini tidak berdasar. Pada prinsipnya, jika seseorang telah melakukan shalat Istikharah, hatinya menjadi tenang dengan pilihannya, maka tujuan istikharah telah terpenuhi. Bukan seperti yang diduga sebagian orang bahwa jika seseorang tidak bermimpi, maka dia harus mengulangi istikharahnya lagi hingga ia bermimpi.
- Shalat Istikharah hukumnya dianjurkan, bukan wajib.
- Ibnu `Umar radhiallahu’anhuma berkata: Seseorang benar-benar beristikharah kepada Allah Ta'ala, lalu Dia menjadikan baik pilihannya itu, kemudian dia kesal kepada Rabb-nya, Namun tidak berapa lama kemudian dia melihat bahwa kesudahan yang baik telah dipilihkan untuknya (oleh Allah).'
Kita Sering Melalaikannya dalam Shalat
Shalat dengan pakaian yang diharamkan
Sebuah pakaian bisa diharamkan bagi seseorang, mungkin dari sisi diperolehnya pakaian tersebut dengan cara yang haram, atau zat pakaian itu sendiri yang haram atau sifatnya yang haram.
- Diperoleh dengan cara yang haram, mungkin dengan mencuri ataupun merampasnya dari orang lain atau yang semisalnya.
- Zat pakaian itu haram, seperti pakaian sutera dan emas yang diharamkan bagi laki-laki untuk memakainya atau pakaian yang bergambar makhluk hidup (manusia dan hewan).
- Sifat pakaian itu haram, seperti seorang laki-laki memakai pakaian wanita atau sebaliknya.
Shalat dengan memakai pakaian bercorak/ bergambar
Ummul mukminin Aisyah mengabarkan:
“Nabi shalat mengenakan khamishah yang memiliki corak/gambar-gambar. Beliau memandang sekali ke arah gambar-gambarnya. Maka selesai dari shalatnya, beliau bersabda, “Bawalah khamishahku ini kepada Abu Jahm dan datangkan untukku anbijaniyyahnya Abu Jahm , karena khamisah ini hampir menyibukkanku dari shalatku tadi .” Hisyam bin Urwah berkata dari bapaknya dari Aisyah, “Nabi bersabda, “Ketika sedang shalat tadi aku sempat melihat ke gambarnya, maka aku khawatir gambar ini akan melalikan/menggodaku .” (HR. Al-Bukhari no. 373 dan Muslim no. 1239)
Al-Imam An-Nawawi dalam syarah(penjelasan)nya terhadap Shahih Muslim memberi judul bagi hadits di atas dengan “Karahiyatush Shalah fi Tsaubin Lahu A’lam” artinya makruhnya shalat dengan mengenakan pakaian bergambar.
Rasulullah mengatakan bahwa gambar-gambar yang ada pada khamishah tersebut sempat menyibukkan beliau. Maksudnya, hati beliau tersibukkan sesaat dari perhatian secara sempurna terhadap shalat yang sedang dikerjakan, dari mentadaburi dzikir-dzikir dan bacaannya karena memandang gambar yang ada pada khamishah yang sedang dikenakannya. Karena khawatir hati beliau akan tersibukkan dengannya, belaiau pun enggan mengenakan khamishah itu dan memerintahkan agar mengembalikannya kepada Abu Jahm. Dari sini kita pahami, tidak disenanginya mengenakan pakaian yang bercorak/bergambar ketika shalat karena dikhawatirkan akan mengganggu ibadah shalat tersebut, walaupun shalat yang dikerjakan tetap sah. Diambil istimbath hukum dari hadits ini bahwa dimakruhkan segala sesuatu yang dapat mengganggu kekhusyukan shalat seperti hiasan, warna-warni, dan ukiran pada dinding masjid, atau hal-hal lain yang dapat menyibukkan serta memalingkan hati orang yang sedang shalat. (Ihkamul Ahkam, kitab Ash-Shalah, bab Adz Dzikr ‘Aqibash Shalah, Al-Minhaj 5/46, Fathul Bari 1/627, Syarhu Az-Zarqani ‘ala Muwaththa’ Al-Imam Malik, 1/290)
Ibnu Daqiqil ‘Ied berkata, “Hadits ini menunjukkan bersegeranya Rasulullah untuk memperbaiki shalat (melakukan hal-hal yang memberi kemashalahatan bagi ibadah shalat) serta menyingkirkan apa yang mungkin menodai pelaksanaannya. Di mana beliau melepas khamishah yang dikenakannya, menyuruh sahabatnya untuk mengembalikannya dan meminta penggantinya berupa pakaian lain yang tidak menyibukkan.” (Ihkamul Ahkam, kitab Ash-Shalah, bab Adz-Dzikr ‘Aqibash Shalah)
Zainuddin Abul Fadhl Al-Iraqi menyatakan, “Hadits ini menunjukkan keharusan meyingkirkan apa saja yang dapat menyibukkan orang yang shalat dari ibadah shalatnya dan melalaikannya. Hadits ini juga mengandung hasungan untuk menghadap sepenuhnya pada amalan shalat dan khusyuk di dalamnya. Sebagaimana pula hadits ini menunjukan bahwa pikiran sedikit/sejenak tersibukkan dengan perkara selain shalat tidaklah mencacati keabsahan shalat.” (Tharhu At-Tatsrib, 2/585)
Sebagaimana telah disinggung di atas bahwa tidak disenangi untuk shalat di tempat yang padanya ada hal-hal yang dapat mengganggu kekhusyukan shalat. Sehingga, sekiranya hal yang mengganggu itu dapat disingkirkan sebagaimana ditunjukkan dalam hadits berikut ini.
Anas bin Malik berkata, Aisyah memiliki qiram yang dipakainya untuk menutupi sisi rumahnya, maka Nabi bersabda:
“Singkirkan dari kami qirammu ini karena gambar-gambarnya terus menerus terbayang-bayang dalam shalatku.” (HR.Al-Bukhari no. 374)
Shalat Membawa Gambar
Bila seseorang shalat sementara di sakunya ada dompet yang di dalamnya terdapat uang kertas bergambar makhluk hidup, KTP, SIM yang tentunya ada pas fotonya, apakah shalatnya sah ?
Samahatusy Syaikh Abdul Aziz bin Baz menjawab, “Shalatnya sah. Adapun gambar-gambar yang dibawanya dalam shalat tidaklah mencacati shalatnya karena ia dalam keadaan terpaksa atau ada kebutuhan untuk selalu membawanya. Adapun gambar/ foto kenang-kenangan, untuk mengingat seseorang dan semisalnya, tidak boleh dibawa. Bahkan tidak boleh dibiarkan tetap ada di dalam rumah, namun wajib dimusnahkan. Dengan dalil sabda Nabi kepada Ali bin Abi Thalib:
“Jangan engkau membiarkan satu gambar (makhluk hidup) kecuali engkau haus dan jangan pula membiarkan ada satu kuburan yang ditinggalkan kecuali engkau ratakan.” (HR. Al-Imam Muslim dalam Shahihnya)
Kemudian Asy-Syaikh menyebutkan beerapa hadits yang lainnya. (Majmu Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, 10/417)
Shalat di Tempat yang Ada Gambar
Shalat di tempat yang di situ ada gambar-gambar bernyawa seprti gmbar-gambar pada surat kabar, majalah, dan buku-buku, atau gambar yang digantung di dinding hukumnya sah apabila si muslim yang shalat tersebut menunaikan shalatnya dengan tata cara yang diajarkan dalam syariat. Akan tetapi bila ia mencari tempat lain yang tidak ada gambarnya maka itu lebih utama dan lebih afdhal. (Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, 10/418)
Shalat Beralaskan Tikar
Dibolehkan shalat dengan memakai alas, baik berupa tikar, sajadah, kain, atau yang lainnaya selama alas tersebut tidak akan mengganggu orang yang shalat. Misalnya sajadahnya bergambar dan berwarna-warni, yang tentunya dapat menarik perhatian orang yang shalat. Di saat shalat, mungkin ia akan menoleh ke gambar-gambarnya lalu mengamatinya, terus memperhatikannya hingga ia lupa dari shalatnya, apa yang sedang dibacanya dan berapa rakaat ang telah dikerjakannya. Oleh karena itu tidak sepantasnya memakai sajadah yang padanya ada gambar masjid, karena bia jadi akan mengganggu orang yang shalat dan membuatnya menoleh ke gambar tersebut sehingga bisa mencacati shalatnya. (Majmu’ Fatawa wa Rasa’il Fadhilatusy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, 12/ 362)
Dalil tentang bolehnya shalat dengan memakai alas adalah sebagai berikut:
Anas bin malik mengabrkan bahwa neneknya yang bernama Mulaikah mengundang Rasulullah untuk menyantap hidangan yang dibuatnya. Beliau pun datang memenuhinya serta memakan hidangan yang disajikan. Selesainya, beliau bersabda , “Bangkitlah, aku akan shalat mengimami kalian.” Anas berkata,”Aku pun bangkit untuk mengambil tikar kami yang telah menghitam karena lamanya dipakai. Aku percikkan air untuk membersihkannya. Rasulullah lalu berdiri. Aku dan seorang anak yatim membuat shaf di belakang beliau, sementara nenekku berdiri di belakang kami. Rasulullah shalat dua rakaat mengimami kami, kemudian beliau pergi.” (HR. Al-Bukhari no. 380 dan Muslim no. 1497)
Abu Sa’id Al-Khudri menyatakan:
“Ia pernah masuk menemui Rasulullah, ternyata ia dapatkan beliau sedang shalat di atas tikar, beliau sujud di atas tikar tersebut.” (HR. Muslim no. 1503)
Aisyah berkata:
“Adalah Rasulullah shalat beraaskan khumrah .” (HR. Al-Bukhari no. 379 dan diriwayatkan pula oleh Muslim no. 1502 dari hadits Maimunah)
Ibnu Baththal berkata, “Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan fuqaha di berbagai negeri tentang bolehnya shalat di atas/beralas khumrah. Keculai perbuatan yang diriwayatkan dari ‘Umar bin Abdil ‘Aziz bahwa ia pernah meminta tanah lalu diletakkannya di atas khumrahnya untuk kemudian sujud di atas tanah tersebut. Mungkin apa yang dilakukan oleh ‘Umar bin Abdil ‘Aziz ini karena berlebih-lebihannya beliau dalam sikap tawadhu’ dan khusyuk. Dengan begitu, dalam perbuatan beliau ini tidak ada penyelisihan dengan pendapat jamaah (yang menyatakan bolehnya sujud di atas khumrah).
Ibnu Abi Syaibah meriwaytkan dari ‘Urwah ibnuz Zubair bahwa ia membenci (memakruhkan) shalat di atas sesuatu selain bumi /tanah (membenci shalat dengan memakai alas). Demikian pula riwayat dari selain ‘Urwah. Namun dimungkinkan makruhnya di sini adalah karahah tanzih (bukan haram).” (Fathul Bari, 1/633)
Namun perbuatan Rasulullah ini cukuplah menujukkan kebolehan shalat di atas alas. Wallahu a’lam.
Al-Imam An-Nawawi menyatakan ,”Orang-orang dalam mazhab kami berkata, ‘Tidak dibenci shalat di atas wol, bulu, hamparan, permadani, dan benda-benda seluruhnya. Inilah pendapat dalam mazhab kami’.” (Al-Majmu’, 3/169)
Ibnu Qudamah Al-Maqdisi berkata, “Tidak apa-apa shalat di atas hamparan/tikar dan permadani dari wol, kulit, dan bulu. Sebagaimana dibolehkan shalat di ats kain dari katun, linen, dan seluruh bahan yang suci.” (Al-Mughni, kitab Ash-Shalah, fashl Tashihhu Ash-Shalah ‘alal Hashir wal Bisath minash Shuf)
Shalat dengan Pakaian yang Dikenankan Saat Buang Hajat/di WC
Fadhilatusy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin pernah ditanya tentang hal ini, karena memungkinkan ketika keluar dari WC pakaian mereka terkena najis dan tidak diragukan WC tidak lepas dari najis. Bila demikian, apakah sah shalat mereka dengan mengenakan pakaian tersebut ? beliau menjawab, “Sebelum aku menjawab pertanyaan ini, aku hendak mengatakan bahwa syariat Islam ini, alhamdulillah, telah sempurna dari seluruh sisi. Cocok dengan fitrah manusia yang Allah ciptakan makhluk di atas fitrah tersebut. Di mana pula, agama ini datang dengan kemudahan dan keringanan, bahkan datang untuk menjauhkan manusia dari kebingungan dalam was-was dan bayangan-bayangan yang tidak ada asalny. Berdasarkan hal ini, seseorang dengan pakaian yang dikenakannya berada di atas kesucian, karena hukum asalnya demikian, selama ia tidak yakin tubuh dan pakaiannya terkena najis. Inilah hukum asal yang dipersaksikan oleh sabda Rasulullah tatkala ada seseorang mengadu kepada beliau bahwa ia merasa berhadats ketika sedang mengerjakan shalatnya. Beliau bersabda:
“Jangan ia berpaling (membatalkan shalatnya) sampai ia mendegar suara (angin) atau ia mendapati baunya.”
Maka hukum asalnya adalah tetapnya sesuatu di atas keadaanya semula (dalam hal ini: suci). Dengan begitu, basahnya pakaian yang dikenankan mereka saat masuk WC, bisakah dipastikan bahwa cairan tersebut adalah cairan yan najis dari air kencing, tahi, atau semisalnya ? Bila kita tidak bisa memastikan (tidak yakin) dengan perkara ini, maka dikembalikan kepada hukum asal, yaitu suci. Memang benar, menurut persangkan yang kuat pakaian itu bisa jadi terkena sedikit najis. Akan tetapi selama kita tidak yakin (sekedar menduga-duga) maka tetap hukum asal sesuatu itu suci, sehingga tidak wajib bagi mereka membasuh pakaian mereka. Dan mereka boleh shalat mengenakan pakaian tersebut.” (Majmu’ Fatawa wa Rasa’il Fadhilatusy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, 12/369)
Shalat Memakai Sandal
Rasulullah terkadang shalat tanpa alas kaki dan terkadang memakai sandal. Beliau membolehkan hal itu kepada umat beliau dengan sabdanya:
“Apabila salah seorang dari kalian shalat, maka hendaknya ia memakai kedua sandalnya atau ia lepaskan di antara kedua kakinya, dan jangan ia mengganggu orang ain dengan kedua sandalnya.” (HR. Al-Hakim 1/259, ia berkata, “Shahih di atas syarat Muslim.” Disepakati oleh Adz Dzahabi. Kata Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ashlu Shifati Shalatin Nabi 1/108, “Hadits ini memang sebagaimana yang dikatakan leh keduanya.”)
Didapatkan pula adanya penekanan beliauagar mengenakan sandal ketika shalat sebagaimana dalam hadits:
“Selisihilah Yahudi, karena mereka tidak shalat dengan mengenakan sandal dan tidak pula khuf mereka.” (HR. Abu Dawud no.652, dihasankan oleh Asy-Syaikh Muqbil dalam Ash-Shahihul Musnad Mimma Laisa Fish Shahihain, hadits no. 471, 1/399)
Asy-Syaikh Al-Albani berkata, “Hadits ini memberi faedah disenanginya shalat dengan memakai sandal karena Rasulullah memerintahkannay dengan alasan untuk menyelisihi Yahudi. Minimal hukumnya adalah mustahab, walaupun secara dzahir hukumnya wajib. Karena hukum asal dari perintah adalah wajib, kecuali ada nash yang memalingkannya dari hukum wajib tersebut. Namun di sini tidaklah wajib hukumnya dengan dalil sabda beliau yang telah disebutkan sebelumnya:
“Apabila salah seorang dari kalian shalat, maka hendaknya ia memakai kedua sandalnya atau ia lepaskan keduanya…”
Dari ucapan beliau ini menunjukkan seseorang yang shalat diberi pilihan (antara memakai sandal atau melepaskannya) akan tetapi hal ini tidaklah meniadakan hukum mustahabnya…” (Ashlu Shifati Shalatin Nabi, 1/109, 110)
Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari berkata, ”Mustahabnya dari sisi tujuan menyelisihi Yahudi.”
Sunnah ini tentunya akan dianggap asing oleh masyarakat kita karena ketidaktahuan mereka terhadap hukum-hukum yang rinci dalam agama ini. Juga karena pandangan mereka, apabila seseorang masuk masjid dalam keadaan memakai sandal berarti dia menghinakan masjid dan mengotorinya. Sehingga siapa saja yang hendak mengamalkan sunnah harus pandai-pandai melihat keadaan dan super hati-hati. Jangan sampai krena ingin menghidupkan sunnah namun hasilya malahan mendatangkan mudarat dan membuat fitnah di tengah masyarakatnya yang awam tersebut, yang menyebabkan sunnah ini justru dibenci dn agama ini semakin dijauhi. Wallahul musta’an.
Oleh karena itu, ajarilah dulu manusia agama yang mudah ini dengan penuh hikmah, sehingga mereka mengerti dan paham, dan pada akhirnya mereka cinta terhadap agama ini dan mengamalkan semua yang datang dari agama yang mulia ini, tanpa ada paksaan dari siapa pun. Wallahul muwaffiq ila ash-shawab.
Ijtihad
Orang yang melakukan iitihad dipersyaratkan beberapa hal, di antaranya:
1. Mengetahui dalil-dalil syar'i yang dibutuhkan dalam berijtihad seperti ayat-ayat hukum dan hadits-haditsnya.
2. Mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan keshahihan hadits dan kedhaifannya, seperti mengetahui sanad dan para periwayat hadits dan lain-lain.
3. Mengetahui nasikh-mansukh dan perkara-perkara yang telah menjadi ijma' (kesepakatan ulama), sehingga dia tidak berhukum dengan apa yang telah mansukh (dihapus nya) atau menyelisihi ijma'.
4. Mengetahui dalil-dalil yang sifatnya takhsis, taqyid atau yang semisalnya, lalu bisa menyelaraskannya dengan ketentuan asal yang menjadi pokok permasalahan.
5. Mengetahui ilmu bahasa, ushul fikih, dalil-dalil yang mempunyai hubungan umum-khusus, mutlak-muqayyad, mujmal-mubayyan, dan yang semisalnya sehingga akurat dalam menetapkan hukum.
6. Mempunyai kemampuan beristimbat (mengambil kesimpulan) hukum-hukum dari dalil-dalilnya.
Ijtihad terus berlaku sampai kapan pun dan keberadaannya termasuk dalam bagian ilmu atau pembahasan masalah ilmiah. Perlu dicatat bahwa seorang mujtahid harus berusaha mengerahkan kesungguhannya dalam mencari kebenaran untuk kemudian berhukum dengannya. Seseorang yang berijtihad kalau benar mendapatkan dua pahala; pahala karena dia telah berijtihad dan pahala atas kebenaran ijtihadnya, karena ketika dia benar ijtihadnya berarti telah memperlihatkan kebenaran itu dan memungkinkan orang mengamalkannya, dan kalau dia salah, maka dia mendapat satu pahala dan kesalahan ijtihadnya itu diampuni, karena sabda Nabi: Apabila seorang hakim menetapkan hukum dengan cara berijitihad dan temyata benar, maka dia mendapat dua pahala dan apabila dia ternyata salah, maka dia mendapat satu pahala. (HR. Bukhari dan Muslim)
Taklid
Apabila ada satu perkara tidak jelas hukumnya bagi seseorang, wajib baginya tawaquf (mendiamkannya) dan dia boleh taklid karena mau tidak mau dia harus begitu. Allahazza wa jalla berfirman, Bertanyalah kalian kepada orang yang memiliki i1mu, jika kalian tidak mengetahui. (An Nahl: 43)
Oleh karena itu, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, Sikap taklid kedudukannya sama seperti makan bangkai. Oleh karena itu, apabila seseorang mampu menetapkan hukum dari dalil-dalil yang ada, tidak halal baginya bertaklid.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam Nuniyah:
Ilmu itu mengetahui petunjuk dengan dalil
Tidaklah sama antara ilmu dan taklid
Taklid boleh dilakukan pada dua tempat
1. Orang awam yang tidak mampu menetapkan hukum sendiri dibolehkan untuk taklid. Dasarnya firman Allah: Bertanyalah kalian kepada orang yang memiliki ilmu pengetahuan, jika kalian tidak mengetahui. (QS. An Nahl: 43)
Diutamakan bertaklid kepada orang yang berilmu dan wara' (bisa menjaga diri dari perkara-perkara yang akan menjurus kepada hal-hal yang diharamkan. Ed.). Apabila didapati ada dua orang yang sama dalam keilmuannya, maka yang dipilih yang paling baik akhlaknya.
2. Seorang mujtahid yang menemukan perkara baru yang harus segera diputuskan, yang tidak mungkin dia menelitinya, maka pada saat itu dia boleh taklid.
Jenis-Jenis Taklid
Taklid itu ada dua macam, yaitu taklid umum clan taklid khusus.
A. Taklid Umum
Taklid umum ialah berpegang dengan madzhab tertentu dalam semua perkara agamanya, karena ketidakmampuannya menetapkan hukum sendiri.
Dalam masalah tersebut ulama berselisih pendapat. Di antara mereka ada yang berpendapat wajib taklid seperti itu, karena merupakan kesulitan besar bagi kalangan mutaakhirin bila mereka dituntut untuk berijtihad. Di antara mereka ada yang berpendapat haram taklid seperti itu, karena hal itu sama saja dengan berhukum secara tetap kepada seseorang selain Nabi .
Syaikhul Islam Ibnu Taimiya rahimahullah berkata, “Pendapat yang mewajibkan taat kepada selain Nabi dalam setiap perintah dan larangannya menyelisihi ijma' ulama. Adapun kalau sekadar membolehkan, dalam hal ini para ulama berbeda perndapat”
B. Taklid Khusus
Taklid khusus ialah mengambil pendapat tertentu dalam perkara-perkara tertentu. Hal ini diperbolehkan apabila seseorang tidak mampu menetapkan kebenaran dengan cara berijtihad sendiri, baik karena tidak mampu sama sekali atau dia mampu tetapi dalam keadaan tertentu mengalami kesulitan besar.
Berdoa dengan Mengangkat Tangan
Mengangkat tangan dalam berdoa dibagi kepada tiga keadaan.
1. Riwayat menyebutkan bahwa beliau mengangkat kedua tangannya.
2. Riwayat menyebutkan bahwa beliau tidak mengangkat kedua tangannya.
3. Riwayat tidak menyebutkan keduanya.
Contoh keadaan pertama:
Jika sang khatib berdo'a ketika shalat Istisqa' (meminta hujan) atau istish-ha, maka dalam keadaan ini ia dibolehkan mengangkat kedua tangannya, demikian juga para makmum. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Anas bin Malik radhiallahu’anhu, yaitu kisah seorang Arab dusun (A'rabi). Ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam khutbah Jum'at, ia meminta kepada beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam untuk dimintakan kepada Allah hujan, lalu beliau mengangkat kedua tangannya seraya berdo'a, demikian pula para Sahabat ridwanullahu ajma’in, mengangkat tangan mereka seraya berdo'a bersamanya (HR. Bukhari, HR. Muslim)
Hadits lain menunjukkan dibolehkannya hal ini dalam Qunut Nazilah (karena terjadi perkara yang genting), atau ketika shalat sunnah Witir, juga ketika berada di Shafa dan Marwah, ketika di padang `Arafah, dan saat yang lainnya (berdasarkan riwayat dari beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam), dan perkara ini jelas adanya.
Contoh keadaan kedua:
Riwayat menyebutkan bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengangkat kedua tangannya ketika berdo'a, yaitu ketika khutbah jum'at selain khutbah Istisqa' dan Istish-ha. Jika seorang khatib jum'at berdo'a untuk kebaikan kaum muslimin dan muslimah atau kemenangan para mujahidin, maka ia tidak mengangkat ke dua tangannya. Jika ada khatib yang mengangkatnya ketika ia berdo'a, niscaya saya akan mengingkarinya, karena dalam Shahiih Muslim diriwayatkandari `Umarah bin Ru-aibah, bahwa ia melihat Bisyr bin Marwan mengangkat kedua tangannya ketika di atas mimbar, lalu ia (`Umarah) berkata kepadanya:
قبح الله هاتين اليدين،لقد رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم ما يزيد أن يقول بيده هكذا.وأشار بإصبعه المسبحة
Semoga Allah memburukkan kedua tanganmu ini. Sungguh aku telah melihat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak melebihkan tatkala sedang berdo'a selain seperti ini, sambil mengangkat jari telunjuknya (HR. Muslim)
Demikian pula ketika berdo'a dalam shalat, seperti di antara dua sujud, setelah tasyahhud akhir, dan selainnya. Hal ini pun perkaranya jelas.
Contoh keadaan ketiga:
Yakni riwayat yang tidak menyebutkan apakah mengangkat kedua tangan atau tidak. Hukum asal dalam masalah ini adalah dengan mengangkat kedua tangan, karena ia termasuk di antara adab dan sebab dikabulkannya do'a. Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللهَ حَيِيٌّ كَرِيْمٌ يَسْتَحْيِيْ مِنْ عَبْدِهِ إِذَا رَفَعَ إِلَيْهِ يَدَيْهَ أَنْ يَرُدَّهُمَا صِفْرَاً
Sesungguhnya Allah Ta'ala memiliki sifat malu dan Maha pemberi karunia, Dia malu dari hamba-Nya tatkala sang hamba (berdo'a) mengangkat kedua tangannya (ke langit) jika keduanya dikembalikan dalam keadaan kosong (tidak dikabulkan) (HR. Ahmad, Al-Hakim, At-Tirmidzi, dishahihkan oleh Syaikh Al-Bany dalam Shahihul Jami no,1757)
Akan tetapi didapati keadaan-keadaan di mana ditegaskan tidak mengangkat kedua tangan ketika berdo'a, seperti ketika duduk di antara dua khutbah (Jum'at). Dalam hal ini kita tidak mengetahui satu Sahabat pun yang mengangkat tangan di saat seperti ini. Banyak pendapat (pandangan) tentang mengangkat tangan di saat seperti ini. Orang yang mengangkatnya dengan dalil bahwa hukum asal berdo'a adalah dengan mengangkat kedua tangan, maka hal itu tidak diingkari. Dan orang yang tidak mengangkatnya dengan alasan para Sahabat tidak pernah melakukannya, maka hal ini pun tidak diingkari. Intinya, dalam perkara seperti ini terdapat keleluasaan, insya Allah.
Keutamaan Berdzikir
2. Menyebut-nyebut Allah adalah suatu penyembuhan dan menyebut-nyebut tentang manusia adalah penyakit (artinya penyakit akhlak). (HR. Al-Baihaqi)
3. Demi yang jiwaku dalam genggamanNya, kalau kamu selamanya bersikap seperti saat kamu ada bersamaku dan mendengarkan zikir, pasti para malaikat akan bersalaman dengan kamu di tempat tidurmu dan di jalan-jalan yang kamu lalui. Tetapi, wahai Handhalah (nama seorang sahabat) kadangkala begini dan kadangkala begitu. (Beliau mengucapkan perkataan itu kepada Handhalah hingga diulang-ulang tiga kali). (HR. Tirmidzi dan Ahmad)
4. Rasulullah Saw menyebut-nyebut Allah setiap waktu (saat). (HR. Muslim)
5. Perumpamaan orang yang berzikir kepada Robbnya dan yang tidak, seumpama orang hidup dan orang mati. (HR. Bukhari dan Muslim)
6. Nyanyian dan permainan hiburan yang melalaikan menumbuhkan kemunafikan dalam hati, bagaikan air menumbuhkan rerumputan. Demi yang jiwaku dalam genggamanNya, sesungguhnya Al Qur'an dan zikir menumbuhkan keimanan dalam hati sebagaimana air menumbuhkan rerumputan. (HR. Ad-Dailami)
7. Dua kalimat ringan diucapkan lidah, berat dalam timbangan dan disukai oleh (Allah) Arrohman, yaitu kalimat: Subhanallah wabihamdihi, subhanallahil 'Adzhim (Maha suci Allah dan segala puji bagi-Nya, Maha suci Allah yang Maha Agung). (HR. Bukhari)
8. Ada empat perkara, barangsiapa memilikinya Allah akan membangun untuknya rumah di surga, dan dia dalam naungan cahaya Allah yang Maha Agung. Apabila pegangan teguhnya Laailaha illallah. Jika memperoleh kebaikan dia mengucapkan Alhamdulillah, jika berbuat salah (dosa) dia mengucapkan Astaghfirullah dan jika ditimpa musibah dia berkata Inna lillahi wainna ilaihi roji'uun. (HR. Ad-Dailami)
9. Maukah aku beritahu amalanmu yang terbaik, yang paling tinggi dalam derajatmu, paling bersih di sisi Robbmu serta lebih baik dari menerima emas dan perak dan lebih baik bagimu daripada berperang dengan musuhmu yang kamu potong lehernya atau mereka memotong lehermu? Para sahabat lalu menjawab, Ya. Nabi Saw berkata,Zikrullah. (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)
10. Menang pacuan Almufarridun. Para sahabat bertanya, Apa Almufarridun itu? Nabi Saw menjawab, Laki-laki dan wanita-wanita yang banyak berzikir kepada Allah. (HR. Muslim) Penjelasan: Almufarid ialah orang yang gemar zikrullah dan selalu mengamalkannya dan tidak peduli apa yang dikatakan atau diperbuat orang terhadapnya.
11. Seorang sahabat berkata, Ya Rasulullah, sesungguhnya syariat-syariat Islam sudah banyak bagiku. Beritahu aku sesuatu yang dapat aku menjadikannya pegangan. Nabi Saw berkata, Biasakanlah lidahmu selalu bergerak menyebut-nyebut Allah (zikrullah). (HR. Ahmad dan Tirmidzi)
12. Sebaik-baik zikir dengan suara rendah dan sebaik-baik rezeki yang secukupnya. (HR. Abu Ya'la) Penjelasan: Rezeki yang secukupnya artinya yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dan keperluan dan tidak berlebih-lebihan.
13. Di antara ucapan tasbih Rasulullah Saw ialah : Maha suci yang memiliki kerajaan dan kekuasaan seluruh alam semesta, Maha suci yang memiliki kemuliaan dan kemahakuasaan, Maha suci yang hidup kekal dan tidak mati. (HR. Ad-Dailami)
14. Aku bertanya, Ya Rasulullah, apa keuntungan dan keberuntungan yang diperoleh dari majelis zikir (majelis taklim)? Nabi Saw menjawab, Keuntungan dan keberuntungan yang diperoleh dari majelis zikir (majelis taklim) ialah surga. (HR. Ahmad)
15. Tiada amal perbuatan anak Adam yang lebih menyelamatkannya dari azab Allah daripada zikrullah. (HR. Ahmad) 16. Wahai Aba Musa, maukah aku tunjukkan ucapan dari perbendaharaan surga? Aku menjawab, Ya. Nabi berkata, La haula wala Quwwata illa billah. (Tiada dayadan upaya)
Rabu, 11 Februari 2009
Tawadhu: Hakikat Hidup Berprestasi
Sungguh, Allah sangat suka terhadap orang yang merendahkan diri di hadapan-Nya, sehingga diangkatlah derajat kemuliannya ke tingkat yang sangat tinggi di hadapan semua makhluk, apalagi di hadapan-Nya. "Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih, mereka itu adalah sebaik-baik makhluk" (QS. Al-Bayyinah: 7).
Sebaliknya betapa Allah sangat murka terhadap orang-orang yang menyombongkan diri di muka bumi. Allah berfirman, "Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri." (QS. An-Nisa: 36). Syurga pun mengharamkan dirinya untuk dimasuki oleh orang-orang yang di dalam kalbunya terdapat kesombongan walaupun hanya sebesar debu.
Segenap makhluk yang ada di alam semesta ini tiada memiliki daya dan upaya, kecuali karena karunia kekuatan dari Allah SWT? Laa haula walla quwwata illa billaah! yang menciptakan tubuh ini pun Allah. Yang mengalirkan darah dalam peredaran yang sempurna, yang mendetakkan jantung, pendek kata yang mengurus sekujur badan ini pun hanya Allah semata! Manusia sama sekali tidak berdaya sekiranya Allah menghendaki sesuatu atas jiwa dan raga ini.
Karena itu, Allah SWT mengancam manusia yang melupakan hakikat dirinya. "Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi ini tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku" (QS. Al-A'raf: 146). Dalam ayat lain disebutkan, "Demikianlah Allah mengunci mati hati orang yang sombong dan sewenang-wenang" (QS. Al-Mu'min: 35).
Ternyata rahasia hidup sukses atau sebaliknya hidup terhina dan tiada harga, tidak terlepas dari seberapa mampu seseorang menempatkan dirinya sendiri di hadapan Allah SWT. Tawadhu, inilah kunci bagi siapa saja yang ingin memiliki pribadi unggul.
Seseorang niscaya akan lebih cepat maju manakala mempunyai sifat tawadhu dan tidak sombong. Mengapa demikian? Kunci terpenting untuk sukses adalah adanya kesanggupan menyerap ilmu dan meluaskan visi, kemampuan mendengar dan menimba ilmu dari orang lain. Hal ini akan membuat kita semakin cepat melesat dibandingkan dengan orang-orang yang sombong, merasa pandai sendiri, mengganggap cukup dengan ilmu yang dimilikinya, sehingga merasa diri tidak lagi membutuhkan pendapat, pandangan, dan visi dari orang lain.
Ketahuilah, kita ini adalah makhluk yang serba terbatas. Buktinya, kita tidak bisa melihat kotoran di mata atau hidung sendiri. Artinya, kita membutuhkan cermin dan alat bantu lainnya agar bisa menguji semua yang kita miliki ataupun melengkapi sesuatu yang belum kita miliki.
Islam mengajarkan kita agar tidak sombong. Kita harus berani mendengarkan segala sesuatu dari orang lain. Kita tidak dilarang untuk punya pendapat, tetapi orang lain pun tidak salah jika memiliki pendapat berbeda. Kita harus bersedia mendengarkannya, paling tidak untuk menguji pendapat kita apakah bisa dipertahankan atau tidak. Atau, bahkan untuk melengkapi pendapat kita, sehingga semakin bermutu.
Karenanya, berhati-hatilah dengan segala yang berbau kesombongan, merasa diri hebat, pemborong syurga, paling benar, paling mampu. Semua itu hanya akan mengurangi kemampuan yang ada pada diri kita. Sesungguhnya kesombongan itu akan menutup hal yang sangat fitrah dari diri manusia yaitu kemampuan melengkapi diri.
Kita harus menjadi orang yang tamak terhadap ilmu, serakah terhadap pengalaman dan wawasan. Tiap bertemu dengan orang, lihatlah kelebihannya, simaklah kemampuannya, lalu ambillah kelebihannya itu. Tentu ini tidak akan menjadikan orang tersebut bangkrut dan tidak memiliki kelebihan lagi. Sebaliknya, kemampuan orang yang kita mintai ilmunya akan semakin berkembang selain kita pun akan semakin maju.
Tidak mungkin kita ditakdirkan bertemu dengan seseorang, kecuali pasti akan menjadi ilmu dan pengalaman baru, sekiranya diri kita dilengkapi dengan hati yang bersih. Tentu yang bisa menjadi ilmu itu tidak sekedar hal-hal yang menyenangkan saja. Aneka pengalaman yang tidak menyenangkan, seperti penghinaan, kritik atau cemoohan, semua ini tetap menjadi ilmu yang akan meningkatkan wawasan, kemampuan, karakter, mental ataupun keunggulan-keunggulan lain yang bakatnya sudah kita miliki.
Adapun hal yang sangat utama dan paling menentukan bobot dari semua perilaku dan kiprah kita dalam meningkatkan kualitas dan keunggulan diri adalah hati yang bersih. Kedongkolan, kemangkelan, kejengkelan, kebencian, dan semua hal yang bisa membuat tidak nyamannya hati, jelas-jelas merupakan sikap kejiwaan yang kontraproduktif.
Kita akan banyak kehilangan waktu karena kotor hati. Kalau kita termasuk tipe pemarah serta gemar memuaskan hawa nafsu dan kedendaman, maka kita akan kehilangan waktu untuk kreatif dan produktif. Akan tetapi, sekiranya hati kita bersih dan sejuk, maka kendatipun hantaman masalah dan kesulitan datang bertubi-tubi, niscaya kita akan seperti intan yang tiada pernah hilang kilauannya sepanjang masa. Bukankah intan itu tidak akan pernah hancur wujudnya dan berkurang kilauannya kendati dihantam dengan batu bata secara bertubi-tubi, bahkan dia sendiri yang akan hancur? Kesejukan, kebersihan, dan ketentraman hati, tidak bisa tidak, akan mempengaruhi pikiran ini menjadi lebih lebih bermanfaat dan bermakna.
Tampaknya umat Islam akan bangkit bila mampu bersinergis, saling membantu satu sama lain. Kuncinya adalah bebasnya hati dari kedengkian, dan kebusukan. Kita harus belajar senang melihat orang lain maju. Kita pun harus belajar ikut bersyukur melihat kesuksesan dan prestasi orang lain seraya membuat kita terbakar untuk bisa lebih maju lagi. Wallahu a'lam.
Jiwa Mandiri Kunci Harga Diri
Segera setelah berhijrah ke Madinah, Rasulullah SAW mempersaudarakan orang-orang Anshar dan Muhajirin. Ada satu kisah menarik yang terjadi ketika Rasulullah SAW mempersaudarakan Abdurrahman bin Auf dengan Sa'ad bin Rabi--orang paling kaya dari golongan Anshar.
Ketika itu Sa'ad berkata kepada Abdurrahman: "Saudaraku, aku adalah penduduk Madinah yang kaya raya, silakan pilih separuh hartaku dan ambillah! Dan aku mempunyai dua orang isteri, coba perhatikan mana yang lebih menarik perhatian anda, akan kuceraikan ia hingga anda dapat memperistrinya.
Jawab Abdurrahman bin 'Auf: "Semoga Allah memberkati anda, juga isteri dan harta anda! Tunjukkanlah letaknya pasar agar aku dapat berniaga....! Abdurrahman pergi ke pasar, dan berjualbelilah di sana.......
Hingga suatu ketika Rasul menyapanya, "Bagaimana keadaanmu sekarang, wahai Abdurrahman?" Ia pun menjawab, "Ya Rasulullah, saya sudah menikah dan maharnya saya bayar dengan emas. SAHABAT, kita sangat layak untuk meneladani sikap yang ditunjukkan Abdurrahman bin Auf di atas. Itulah kemandirian yang berakar dari terjaganya harga diri. Sebuah sikap terpuji yang mulai hilang dalam kehidupan masyarakat kita.
Sudah menjadi keniscayaan, jika kita bersandar kepada selain Allah, pasti kita akan takut kalau sandaran itu diambil orang. Tapi bila kita bergantung kepada Allah SWT, maka tak ada sedikitpun keraguan dan kecemasan yang akan menghampiri. Allah tidak akan mengabaikan orang yang bersungguh-sungguh berharap kepada-Nya. Dalam sebuah hadis qudsi disebutkan, "Apabila seorang hamba-Ku mendekati-Ku dengan berjalan, maka Aku akan mendekatinya dengan berlari. Apabila ia mendekati-Ku satu jengkal, maka Aku akan mendekatinya satu hasta".
Jiwa mandiri adalah kunci harga diri. Selain akan merdeka dalam hidupnya, orang yang mandiri akan lebih rasa percaya diri, sehingga bisa melakukan pekerjaan lebih banyak, ucapannya lebih bermakna, dan waktunya akan lebih efektif. Karena itu, perjuangan kita untuk menjaga harga diri dengan tidak meminta-minta kepada selain Allah adalah bukti kemuliaan sejati.
Tapi kenapa ada orang yang begitu "tega" menggadaikan harga dirinya demi harta duniawi yang sedikit? Ataupun--dalam skala luas--kenapa bangsa kita yang demikian kaya harus mengemis minta bantuan negara lain? Jawabnya, kita terlalu menganggap topeng dunia sebagai sumber harga diri. Sebagian besar kita terlalu sibuk membangun aksesoris duniawi, tanpa disertai kesibukan membangun harga diri. Tak mengherankan apabila ada orang yang jabatannya tinggi tapi perbuatannya rendah. Atau ada yang hartanya banyak, tapi jiwanya miskin.
KITA harus mulai bangkit menjadi manusia-manusia berjiwa mandiri. Ada beberapa cara yang bisa kita lakukan. Pertama, tekadkan dalam diri untuk menjadi orang yang mandiri. Dalam hidup yang hanya sekali ini, kita harus terhormat dan jangan menjadi budak dari apapun selain Allah SWT. Tekadkan terus untuk selalu menjaga kehormatan diri dan pantang menjadi beban. Andai pun hidup kita membebani orang lain, kita harus berusaha membalas dengan apa-apa yang bisa kita lakukan. Ketika kita membebani orangtua, maka harga diri kita adalah membalas kebaikan mereka. Begitupun kepada guru, teman, atau tetangga. Jangan sampai diri kita terhina karena menjadi benalu dan peminta-minta yang hanya menyusahkan orang lain.
Kedua, berani memulai. Hanya dengan keberanian orang bisa bangkit untuk mandiri. Tidak pernah kita berada di atas tanpa terlebih dahulu memulai dari bawah. Adalah mimpi menginginkan hidup sukses tanpa mau bersusah payah terlebih dulu.
Sungguh, dunia ini hanyalah milik para pemberani. Kesuksesan, kebahagiaan, dan kehormatan sejati hanyalah milik pemberani. Orang pengecut tidak akan pernah mendapatkan apa-apa karena ia melumpuhkan kekuatannya sendiri. Kejarlah dunia ini dengan keberanian. Lawanlah ketakutan dengan keberanian. Takut gelap, berjalanlah di tempat gelap. Takut berenang, segeralah menceburkan diri ke air. Semakin kita mampu melawan rasa takut, rasa malas, dan rasa tidak berdaya, maka akan semakin dekat pula keberhasilan itu dengan diri kita. Memang, segala sesuatu ada resikonya. Tapi inilah harga yang harus kita bayar dalam mengarungi hidup. Kalau kita tidak mau membayar harganya, kita pasti akan tersisih.
Ketiga, nikmatilah proses. Segalanya tidak ada yang instan, semua membutuhkan proses. Keterpurukan yang menimpa negeri kita, salah satu sebabnya karena kita ingin segera mendapatkan hasil. Padahal, tidak mungkin ada hasil tanpa memperjuangkannya terlebih dahulu.
Kita harus mau belajar menikmati proses perjuangan, menikmati tetesan keringat dan air mata. Dengan perjuangan nilai kehormatan yang sesungguhnya bisa terwujud. Kita jangan terlalu memikirkan hasil. Tugas kita adalah melakukan yang terbaik. Allah tidak akan memandang hasil yang kita raih, tapi Ia akan memandang kegigihan kita dalam berproses.
Kita tidak tahu kapan negeri ini akan bangkit. Tetapi bagaimana pun kita harus memulai dengan sesuatu. Ingatlah selalu kisah seorang kakek yang dengan semangat menanam pohon kurma. Ketika ditanya untuk apa ia melakukan semua itu, maka ia menjawab, "Bukankah kita makan kurma sekarang karena jasa orang-orang yang sudah meninggal. Kenapa kita tidak mewariskan sesuatu untuk generasi sesudah kita?".
Namun, jangan sampai kegigihan dan kemandirian kita mendatangkan rasa ujub akan kemampuan diri. Kemandirian yang sejati seharusnya membuat kita tawadhu, rendah hati. Sertailah kegigihan kita untuk mandiri dengan sikap tawadhu dan tawakal kepada Allah SWT.Jadi, kemandirian bukan untuk berbangga diri, tapi harus membuat kita lebih memiliki harga diri, bisa berprestasi, dan tidak membuat kita tinggi hati. Wallahua'lam.
Hikmah Shalat Khusyuk
Khusyuk dalam shalat merupakan sebuah keniscayaan. Allah SWT berfirman dalam QS. Al Mukminun: 1-3, "Beruntunglah orang-orang yang beriman yaitu orang yang khusyuk dalam shalatnya dan yang menjauhkan diri dari perbuatan dan perkataan yang tiada berguna".
Di lain pihak Rasulullah bersabda: Ilmu yang pertama kali diangkat dari muka bumi ialah kekhusyuan. (HR. At-Tabrani ) Dua keterangan di atas setidaknya mengadung pesan bahwa shalat seharusnya mampu membawa perbaikan kualitas hidup kita. Dengan kata lain, bila kita ingin sukses dan ingin berhasil dalam hidup ini, maka kuncinya adalah punya iman dan mampu khusyuk dalam shalat. Siapa pun di antara kita yang tidak pernah meneliti kualitas shalatnya, besar kemungkinan ia tidak akan sukses dalam hidup.
Dalam surat yang lain, Allah bersabda, "Celakalah orang yang shalat, yaitu orang yang lalai dalam shalatnya" (QS. Al Ma'un: 4-5). Redaksi ayat tersebut bukan fi tapi an, yang menggambarkan bahayanya lalai sesudah shalat. Khusyuk ketika shalat hanya memakan waktu sekitar satu jam, sedangkan sehari 24 jam.
Karenanya, tidak mungkin shalat itu hanya efektif untuk yang satu jam. Yakinlah bahwa shalat yang satu jam harus bagus dan sisanya yang 23 jam harus lebih bagus lagi. Maka orang yang shalatnya khusyuk adalah orang yang mampu berkomunikasi dengan baik ketika shalat, dan sesudah shalat ia betul-betul produktif berbuat kebaikan terhadap umat.
Lalu, apa hikmah shalat yang bisa kita dapatkan? Pertama, Allah mengingatkan kita lima kali sehari tentang waktu. Orang yang khusyuk dalam shalatnya dapat dilihat dari sikapnya yang efektif menggunakan waktu. Ia tidak mau waktunya berlalu sia-sia, karena ia yakin bahwa waktu adalah nikmat terbesar yang diberikan Allah kepada manusia. Pelajaran kedua dari shalat adalah kebersihan.
Tidak akan pernah diterima shalat seseorang apabila tidak diawali dengan bersuci. Hikmahnya, orang yang akan sukses adalah orang yang sangat cinta dengan hidup bersih. Dalam QS. As Syams: 9-10 Allah SWT berfirman: "Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan dirinya dan sesungguhnya sangat merugi orang yang mengotori dirinya". Dengan kata lain, siapa yang shalatnya khusyuk maka ia akan selalu berpikir bagaimana lahir batinnya bisa selalu bersih.
Mulai dari dhahir, rumah harus bersih. Bersih dari sampah, dari kotoran, dan bersih dari barang-barang milik orang lain. Sikap pun harus bersih. Mata, telinga, dan juga lisan harus bersih dari maksiat dan hal-hal yang tak berguna. Dan yang terpenting pikiran dan hati kita harus bersih. Bersihnya hati akan memunculkan kepekaan terhadap setiap titik dosa, dan inilah awal dari kesuksesan.
Ketiga, sebelum memulai shalat kita harus memasang niat. Niat sangat penting dalam ibadah. Diterima tidaknya sebuh ibadah akan sangat dipengaruhi oleh niat. Seorang yang shalatnya khusyu akan selalu menjaga niat dalam setiap perbuatan yang dilakukannya. Ia tidak mau bertindak sebelum yakin niatnya lurus karena Allah. Ia yakin bahwa Allah hanya akan menerima amal yang ikhlas. Apa ciri orang ikhlas? Ia jarang kecewa dalam hidupnya. Dipuji dicaci, kaya miskin, dilihat tidak dilihat, tidak akan berpengaruh pada dirinya, karena semua yang dilakukannya mutlak untuk Allah.
Setelah niat, shalat memiliki rukun yang tertib dan urutannya. Jadi, hikmah keempat dari orang yang khusyuk dalam shalatnya adalah cinta keteraturan. Ketidakteraturan hanya akan menjadi masalah. Shalat mengajarkan kepada kita bahwa kesuksesan hanya milik orang yang mau teratur dalam hidupnya. Orang yang shalatnya khusyuk dapat dilihat bagaimana ia bisa tertib, teratur, dan
prosedural dalam hidupnya.
Kelima, hikmah dari manajemen shalat yang khusyuk adalah tuma'ninah. Tuma'ninah mengandung arti tenang, konsentrasi, dan hadir dengan apa yang dilakukan. Shalat melatih kita memiliki ritme hidup yang indah, di mana setiap episode dinikmati dengan baik. Hak istirahat dipenuhi, hak keluarga, hak pikiran dipenuhi dengan sebaiknya. Rasulullah pun menganjurkan kita untuk proporsional dalam beragama, karena itu salah satu tanda kefakihan seseorang. Bila ini bisa kita lakukan dengan baik insya Allah kita akan mendapatkan kesuksesan yang paripurna., yaitu sukses di kantor, sukses di keluarga, dan sukses di masyarakat.
Keenam, shalat memiliki gerakan yang dinamis. Sujud adalah gerakan paling mengesankan dari dinamisasi shalat. Orang menganggap bahwa kepala merupakan sumber kemuliaan, tapi ketika sujud kepala dan kaki sama derajatnya. Bahkan setiap orang sama derajatnya ketika shalat. Ini mengandung hikmah bahwa dalam hidup kita harus tawadhu. Ketawadhuan adalah cerminan kesuksesan mengendalikan diri, mengenal Allah, dan mengenal hakikat hidupnya. Bila kita tawadhu (rendah hati) maka Allah akan mengangkat derajat kita. Kesuksesan seorang yang shalat dapat dilihat dari kesantunan, keramahan, dan kerendahan hatinya. Apa cirinya? Ia tidak melihat orang lain lebih rendah daripada dirinya.
Hikmah terakhir dari shalat yang khusyuk adalah salam. Shalat selalu diakhiri dengan salam, yang merupakan sebuah doa semoga Allah memberikan keselamatan, rahmat, dan keberkahan bagimu. Ucapan salam ketika shalat merupakan garansi bahwa diri kita tidak akan pernah berbuat zalim pada orang lain. Ini adalah kunci sukses, karena setiap kali kita berbuat zalim, maka kezaliman itu akan kembali pada diri kita.
Inilah tujuh hikmah yang bisa kita ambil dari manajemen shalat khusyuk. Bila kita mampu mengaplikasikannya, insya Allah kesuksesan dunia dan akhirat ada dalam genggaman kita. Wallahu a'lam bish-shawab.
Yang Membutakan Kebenaran
Di lain pihak Allah SWT pun menurunkan perintah berperang di jalan-Nya, "Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci." Allah melanjutkan firman-Nya dengan satu peringatan yang menisbikan penilaian manusia atas sesuatu, Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi pula kamu menyukai sesuatu, padahal dia amat buruk bagimu.
Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui. (QS. Al-Baqarah: 216).Di sisi lain, Allah pun berfirman, "Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah fitnah (bagimu)." (QS. At-Taaghabun: 15)Sahabat, tenyata ada tiga hal yang diperingatkan Allah dan Rasul-Nya agar kita tidak tergelincir ke dalam jurang kehinaan. Ketiga hal tersebut adalah marah, benci, dan cinta.
Islam tidak melarang kita marah, benci, dan mencintai sesuatu, karena itu manusiawi. Bahkan ketiganya harus dipelihara dan diarahkan agar membawa kebaikan. Yang dilarang itu adalah kemarahan, kebencian, dan rasa cinta yang akan membuat kita buta pada kebenaran dan keadilan. Kita tidak normal, bila tidak pernah marah dan benci.
Misal, bila istri kita digoda orang lain dan kita diam saja tidak melakukan reaksi apa pun. Ini jelas tidak normal. Demikian juga, bila tiba-tiba uang atau pakaian kita diambil orang di depan mata, lalu kita malah tersenyum. Ini jelas tidak normal juga. Sangat wajar bila dalam hati muncul perasaan marah dan benci, dan diekspresikan dengan menegur orang tersebut. Istri dan harta merupakan titipan Allah yang harus kita jaga.
Jadi, kita harus memiliki kemarahan dan kebencian. Tapi marah dan benci yang bagaimana? Tentu marah dan benci yang proporsional. Tepat waktu dan tepat sasarannya. Kita harus marah dan benci terhadap kekufuran, bukan kepada orangnya, karena dia pun hamba Allah juga.
Kita harus marah dan benci terhadap kejahatan, bukan kepada orang yang melakukan kejahatannya. Justru kita harus merasa iba dan berbelaskasihan kepada orang yang melakukan kemaksiatan tersebut. Mungkin ia melakukannya karena belum tahu, terpaksa, atau karena sebab lainnya. Kita harus terus berempati dan tidak berburuk sangka terlebih dahulu.
Dan, kita harus memiliki keinginan untuk menyadarkan mereka terhadap nikmatnya berperilaku sesuai dengan nilai-nilai kebenaran yang diajarkan agama.Kita bersyukur kepada Allah, karena kita tidak ditakdirkan tergelincir ke dalam jurang kemaksiatan seperti yang mereka lakukan.
Padahal, sangat mudah bagi Allah untuk menenggelamkan kita dalam kenistaan. Hasilnya, kita dituntut untuk dapat menempatkan kemarahan dan kebencian pada tempatnya sambil sekuat-kuatnya mengendalikan diri agar tidak berlebihan. Karena, segala sesuatu yang berlebihan biasanya sudah tercampuri oleh hawa nafsu.
Hal lain yang juga dapat membahayakan kita adalah perasaan cinta dan kasih sayang yang berlebihan. Semakin melewati takaran, seperti halnya perasaan marah dan benci, perasaan cinta pun dapat membutakan kebenaran. Cinta yang berlebihan dari seorang istri terhadap suaminya, akan melahirkan perasaan cemburu yang berlebihan pula.
Hatinya akan menjadi kotor dan terus bertambah kekotorannya lantaran berkecamuk perasaan curiga dan buruk sangka terhadap apapun yang dilakukan suami. Setiap saat timbul perasaan waswas, cemas, dan gelisah tanpa sebab, serta sangat berkeinginan untuk membatasi ruang gerak suaminya. Dengan demikian, butalah ia dari kebenaran.
Situasi seperti ini akan terjadi pula pada seorang suami yang terlalu mencintai istrinya.Terlalu cinta kepada anak, juga sangat tidak baik. Pernah ada seorang ikhwan yang begitu bangga dan sayang terhadap anak pertamanya yang masih bayi, sehingga hampir di setiap ada kesempatan selalu menggendong dan menimang-nimang sang bayi.
Bahkan setiap usai shalat pun ia sering lupa berzikir seperti biasanya dan segera melompat pulang ke rumah. Ketika gurunya yang mursyid mengetahui kelalaian tersebut, ia pun segera diingatkan, "Awas, berhati-hatilah! Jangan sampai cinta kepada makhluk menjauhkan dirimu dari cinta kepada Allah".
Kecintaan yang berlebihan pada harta juga dapat membuat kita tergelincir dari nilai-nilai kebenaran. Bukankah sifat riya, ujub, sum'ah (ingin populer), dan takabur bisa muncul dalam hati karena melimpahnya harta yang kita miliki? Demikian juga sifat kikir, enggan menolong orang yang lemah, dan malas mengeluarkan infak dan zakat timbul karena takut jatuh miskin.
Bila ini terjadi, kita tidak akan pernah sadar bahwa sebenarnya harta yang kita genggam itu hanyalah titipan Allah SWT. Sekali lagi ketamakan terhadap harta akan membutakan kebenaran dan berujung pada kerusakan.
Oleh karena itu, Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang jauh-jauh hari telah memperingatkan hamba-hamba-Nya, "Hai orang-orang yang beriman janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu mengingat Allah.
Barangsiapa yang berbuat demikian itulah orang-orang yang merugi." (QS. Al-Munaafiquun [63]: 9).Sahabat, adapun kebenaran itu, tidaklah perlu diragukan lagi, pasti datangnya dari Allah, Zat Pemilik alam semesta ini. Al haqqu min rabbika falaa takuunanna minal mumtariin. Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu, demikian firman Allah dalam Surat Al-Baqarah [2]: 147.
Karenanya, agar kita bisa memahami hakikat kebenaran dari Allah, maka kita harus bersikap proporsional dan tidak berlebihan mencintai makhluk. Demikian pula dalam mengungkapkan perasaan marah dan benci, janganlah kita berlebihan. Islam mengajarkan kita untuk tidak bersikap berlebihan dalam beramal dan berperilaku.